Selasa, 11 September 2012

Teknologi Cetak Konvensional

Kemajuan bidang teknologi informasi dan komunikasi berjalan begitu cepat. Dalam dunia grafika pun mengalami perkembangan yang cukup pesat, teknologi cetak konvensional dengan acuan cetak permanenpun kini sudah mencapai tahapan yang luar biasa. Sebagai pendampingnya, teknologi cetak Non Impact Printing (NIP) juga berkembang begitu cepat. Tidak jadi masalah teknologi cetak mana yang akan kita pakai. Sebab keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Karakteristik, kebutuhan, dan praktis adalah hal pokok yang membedakan kedua teknologi cetak tersebut. Teknologi cetak konvensional dibagi menjadi beberapa macam, yaitu Teknologi Cetak Tinggi (Letterpress/Flexography), Cetak Datar (Lithography), Cetak Dalam (Rotography), Cetak Saring (Screen Printing). Sudah kita pelajari pula perbedaan paling mendasar dari masing-masing teknologi cetak tersebut yaitu pada acuan cetaknya.

1. Teknologi Cetak Tinggi (Letterpress/Flexography)
Teknologi cetak tinggi sebenarnya dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu Letter Press danFlexography. Metode mencetaknya juga memiliki kemiripan. Pembeda yang paling jelas dari keduanya terletak pada bahan acuan cetaknya. Letter press acuan cetak terbuat dari bahan keras atau logam timah, sedangkan Flexography acuan cetak terbuat dari bahan lunak semacam karet/ plastik Photopolymer ( bahan peka cahaya dan lunak ).Pada teknologi cetak tinggi ada beberapa istilah yang dipakai :

Perkembangan Percetakan di Dunia Islam

Pada masa Dinasti Fatimiyah, percetakan mulai mengalami perkembangan. Pencetakan sebuah manuskrip memiliki sejarah panjang. Ini tak semata terkait dengan mesin cetak yang ditemukan Johannas Gutenberg. Namun, lebih memiliki kaitan dengan kegiatan percetakan yang telah dilakukan lama sebelumnya. Termasuk, perkembangannya di dunia Islam. Menurut Dr Geoffrey Roper, seorang konsultan perpustakaan yang bekerja dengan Institute for the Study of Muslim Civilisations, London, Inggris, Gutenberg diakui sebagai orang pertama yang menemukan mesin cetak.
Namun, menurut Roper, aktivitas mencetak, yaitu membuat sejumlah salinan dari sebuah teks dengan memindahkannya dari satu permukaan ke permukaan lainnya, khususnya kertas, yang telah berusia lebih tua dibandingkan penemuan mesin cetak Gutenberg. Orang-orang Cina telah melakukannya sekitar abad ke-4. Cetakan teks tertua yang diketahui berangka tahun 868 Masehi, yaitu Diamond Sutra. Ini merupakan sebuah terjemahan teks Buddha berbahasa Cina yang tersimpan di British Library. Namun, hal yang tak banyak terekspos adalah sekitar 100 tahun kemudian, Arab Muslim juga memiliki kemampuan mencetak teks. Termasuk, lembaran Alquran. Ini berawal dari langkah Muslim untuk mempelajari kemampuan pembuatan kertas dari Cina. Lalu, umat Islam mengembangkan kemampuan itu di seluruh wilayah Islam. Hal ini memicu tumbuh berkembangnya produksi manuskrip-manuskrip teks. Pada masa awal perkembangan kekuasaan Islam, manuskrip tak dibuat secara massal dan tak pula didistribusikan untuk masyarakat. Kala itu, manuskrip yang ada berisikan penjelasan tentang shalat, doa-doa, intisari Alquran, dan asmaul husna yang sangat dikenal oleh Muslim. Apa pun tingkat sosialnya, baik Muslim yang kaya, miskin, terdidik, maupun berpendidikan rendah. Kemudian, baru pada kekuasaan Dinasti Fatimiyah di Mesir, teknik cetak manuskrip di atas kertas berkembang. Mereka mencetak manuskrip secara massal.